• +62 21 351 4348
  • sekretariat@dppinsa.com

Distribusi B-20 Tidak Efisien

Distribusi B-20 Tidak Efisien

JAKARTA—Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) menilai sistem distribusi B-20 yang ditetapkan Pemerintah c.q Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Peraturan Menteri ESDM No.2026 tahun 2017 tentang Perubahan  Atas Keputusan Menteri ESDM No.6034 tahun 2016,  tidak efisien dan menimbulkan biaya tinggi di sektor transportasi laut.

Penyebabnya adalah proses pencampuran Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Bahan Bakar Nabati (BBN) jenis FAME sebesar 20% yang saat ini ditetapkan  pada 70 terminal bahan bakar minyak (TBBM), bukan pada kilang minyak  PT Pertamina  yakni RU II Dumai, RU III Plaju, RU IV Cilacap, RU V Balikpapan, RU VI Balongan dan RU VII Kasim  maupun pelabuhan penerima impor  solar  saat ini yakni Kotobaru dan Tuban.

Terdapat 12 lokasi  pabrik FAME meliputi Belawan, Batam, Bayas, Dumai, Panjang, Marunda, Bekasi, Gresik,  Bagendang,  Balikpapan, Tarjun dan Bitung dengan total kapasitas sekitar 10 juta  metrik ton per tahun.

Setidaknya ada tiga masalah utama yang menyebabkan pola distribusi BBM  B-20  menimbulkan biaya tinggi. Pertama, tidak semua pelabuhan tujuan kapal pengangkut FAME memiliki infrastruktur yang memadai mererima FAME sebelum dilaksanakannya proses pencampuran dengan BBM.

Terbukti, tidak sedikit anggota INSA yang telah melaporkan bahwa  kapal mereka terpaksa menjadi floating storage. “Sorong misalnya,  sampai hari ini tidak ada tangki untuk penerimaan FAME sehingga kapal terpaksa menjadi floating storage,” kata Johnson W. Sutjipto, Ketua Umum INSA.

Kedua, alokasi FAME yang dicampur dengan BBM di setiap pelabuhan tujuan tidak  sesuai dengan tangki yang tersedia. Misalnya, alokasi FAME untuk daerah Tarakan adalah 4.000 ton per bulan, tapi tangki yang tersedia hanya berkapasitas 500 ton, dan kapal yang mengangkut  berkapasitas 2.000 ton. Akibatnya, kapal pengakut FAME harus menjadi floating storage selama setengah bulan dan  untuk memenuhi kuota FAME di Tarakan, dibutuhkan dua unit kapal dari seharusnya cukup dengan satu kapal.

Ketiga, jarak tempuh kapal menjadi tidak efisien karena pasokan FAME  tidak mempertimbangkan jarak tempuh kapal yang mengangkut FAME antara pelabuhan produsen ke pelabuhan tujuan. 

Misalnya, kebutuhan FAME di sejumlah daerah di Sulawesi seperti Bau-Bau, Makassar,  Donggala harus dipasok dari Dumai, padahal masih ada pemasok FAME terdekat seperti pabrik FAME di Bitung. (Pola distibusi B-20  dapat dilihat melalui link berikut ini: http://bit.ly/PoladistribusiB20).        

Dia menjelaskan untuk mendukung pola distribusi BBM B-20 yang efisien dan efektif,  proses pencampuran BBM dengan FAME seyogyanya dilakukan pada kilang PT Pertamina (Persero) dan pelabuhan penerima impor BBM.

Dia menjelaskan pola distribusi seperti ini  akan menjadikan kilang milik PT Pertamina (Persero) dan pelabuhan penerima impor BBM solar sebagai hub sebelum proses distribusi  BBM yang sudah bercampur dengan FAME dilaksanakan di seluruh Indonesia. (*)

 

  • By admin
  • 19 Oct 2018
  • 1220
  • INSA