Penyelesaian Perselisihan Pelaut Diadukan ke Menko Maritim
Penyelesaian Perselisihan Pelaut Diadukan ke Menko Maritim
Jakarta—Indonesian National Shipowners’ Association menyurati Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi c.q Deputi bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi sehubungan dengan adanya kesalahpahaman di dalam memahami masalah penyelesaian sengketa pelaut yang bekerja pada perusahaan angkutan laut nasional dengan perusahaan angkutan laut nasional. Sebab, masalah tersebut telah membingungkan para pemilik kapal dan mengkhawatirkan kelangsungan investasi di bidang angkutan laut.
Surat bernomor DPP-SRT- IX/20/048 tertanggal 03 September 2020 perihal Penyelesaian Sengketa Pelaut dengan Perusahaan Angkutan Laut Nasional tersebut menjelaskan bahwa UU No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran (pasal 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141,142, 143, 144, 145 dan 146) dan aturan turunannya yang diterbitkan oleh Pemerintah/Kementerian Perhubungan adalah hukum yang bersifat khusus (lex specialis) dan menjadi satu-satunya aturan perundang-undangan yang mengatur secara detail dan jelas tentang profesi pelaut.
Menurut surat tersebut, salah satu aturan tentang Pelaut adalah Peraturan Pemerintah No.7 tahun 2000 tentang Kepelautan. PP tersebut menyebutkan bahwa pelaut adalah setiap orang yang mempunyai kualifikasi dan keahlian atau keterampilan sebagai awak kapal, maka pekerjaan pelaut adalah pekerjaan profesi.
Kemudian, penerbitan sertifikat kompetensi, buku pelaut, pendidikan dan pelatihan atas pelaut Indonesia yang bekerja pada perusahaan angkutan laut hingga adalah dibawah Kementerian Perhubungan c.q Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, bahkan seseorang dilarang bekerja diatas kapal tanpa sijil yang diterbitkan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kemenhub.
Menurut Indonesian National Shipowners’ Association, saat ini terjadi pemahaman yang tidak sejalan antara Kementerian Perhubungan c.q Direktorat Jenderal Perhubungan Laut dengan Kementerian Ketenagakerjaan, khususnya terkait dengan penyelesaian sengketa antara pelaut dengan perusahaan angkutan laut nasional dan perlindungan kesehatan dan kesejahteraan pelaut.
”Jika terjadi perselisihan Pelaut Indonesia dengan Perusahan Angkutan Laut Nasional tentang hak dan kewajiban selama hubungan kerjanya, saat ini lebih sering diserahkan langsung kepada Mediator Hubungan Industrial sehingga dinilai kurang tepat,” tulis surat tersebut.
Sebab, jika merujuk kepada aturan yang berlaku, pelaut sebelum bekerja pada perusahaan angkutan laut nasional telah menandatangani Perjanjian Kerja Laut (PKL) yang memuat hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. PKL tersebut juga wajib disijil/ditandatangani oleh Syahbandar dibawah Kementerian Perhubungan.
”Dengan demikian, sudah seharusnya penyelesaian sengketa antara pelaut Indonesia dengan perusahaan angkutan laut nasional tetap di bawah Kementerian Perhubungan sebagai institusi yang memahami perundang-undangan terkait dengan angkutan laut dan kepelautan,” tulis surat yang ditandatangani Ketua Umum Indonesian National Shipowners’ Association Sugiman Layanto dan Sekretaris Umum Teddy Yusaldi.
Sedangkan terkait dengan Perlindungan Kesehatan dan Kesejahteraan Pelaut, Indonesian National Shipowners’ Association menjelaskan bahwa setiap pelaut yang bekerja di atas kapal wajib diberikan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, dimana perusahan pelayaran nasional diwajibkan memenuhi dan taat terhadap aturan internasional melalui jaminan P & I (Protection and Indemnity) yang mencakup jaminan kesehatan pelaut dan juga jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian sesuai dengan Konvensi Internasional MLC (Maritime Labour Convention) 2006 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah.
”Namun di sisi lain, terdapat UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang memuat mengenai jaminan hari tua dan jaminan pensiun ketenagakerjaan,” tulis surat yang juga ditembuskan kepada Menteri Perhubungan Republik Indonesia dan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia.
Sehubungan dengan hal itu, Indonesian National Shipowners’ Association meminta kepada Menteri Kordinator bidang Maritim dan Investasi c.q Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi untuk memfasilitasi dan mengkordinasikan upaya penyelesaian masalah hubungan industrial antara pelaut dan perusahaan angkutan laut nasional dengan mempertimbangkan ketentuan lex specialis UU Pelayaran dan profesi pelaut dimana menurut Indonesian National Shipowners’ Association, syahbandar adalah institusi pertama yang seharusnya menjadi tempat pengaduan jika terjadi masalah hubungan industrial antara pelaut dan perusahaan angkutan laut nasional.
Kemenko juga diharapkan dapat menjelaskan terkait dengan Perlindungan Kesehatan dan Kesejahteraan Pelaut bahwa pelaut adalah profesi yang tunduk kepada ketentuan internasional dan aturan hukumnya di Indonesia yakni UU No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran adalah lex specialis yang mana asas penafsiran hukum yang menyatakan hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). (Aj/Red).
Penjelasan Kemenaker Soal Perselisihan Pelaut
Jakarta--Kementerian Tenaga Kerja c.q Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja memberikan penjelasan terkait dengan penyelesaian perselisihan pelaut yang bekerja pada perusahaan angkutan laut nasional dengan perusahaan angkutan laut nasional.
Melalui surat bernomor 4/189/HI.04.01/IX/2020, tertanggal 18 September 2020, Kemenaker menjawab surat Indonesian National Shipowners' Association bernomor DPP-SRT-VIII/20/046 tertanggal 14 Agustus 2020.
Dalam surat tersebut, Kemenaker menjelaskan bahwa Indonesian National Shipowners' Association meminta agar penyelesaian perselisihan antara pelaut Indonesia dengan perusahaan transportasi laut dapat diselesaikan terlebih dahulu melalui media Syahbandar sebelum diselesaikan oleh Mediator Hubungan Industrial pada Kementerian Ketenagakerjaan. Terhadap hal itu, Kemenaker menjelaskan:
Bahwa ketentuan ketenagakerjaan di bidang pelayaran dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan sebagaimana diatur di dalam pasal 337 UU No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran.
Bahwa penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang timbul antara pelaut, dengan pemilik atau operator kapal maupun antara pelaut dengan perusahaan agen awak kapal, wajib diselesaikan secara musyawarah dan apabila penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud tidak tercapai kata sepakat, para pihak dapat menyelesaikan melalui pengadilan hubungan industrial dengan berpedoman pada Perjanjian Kerja Laut yang telah ditandatangani oleh para pihak dan dokumen pendukung lainnya, hal tersebut sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 36 ayat (1) dan (2) Permenhub Nomor 84 Tahun 2013 tentang Perekrutan dan Penempatan Awak kapal.
Sesuai ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, bahwa setiap perselisihan Hubungan Industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat. Dalam hal perundingan bipartit gagal maka perselisihan tersebut dicatatkan ke dinas atau institusi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan untuk dimediasi.
Sesuai dengan hal tersebut, Menurut Kementerian Ketenagakerjaan, maka mediasi perselisihan Hubungan Industrial dapat dilaksanakan apabila perundingan bipartit tidak menghasilkan kesepakatan. (Aj/Red)
- By admin
- 02 Oct 2020
- 1772
- INSA