• +62 21 351 4348
  • sekretariat@dppinsa.com

Penyelesaian Perselisihan Pelaut Diadukan ke Menko Maritim

Penyelesaian Perselisihan Pelaut Diadukan ke Menko Maritim

JakartaIndonesian National  Shipowners’ Association menyurati  Menteri Koordinator bidang Maritim  dan Investasi c.q Deputi bidang  Koordinasi Kedaulatan Maritim dan  Energi sehubungan dengan adanya  kesalahpahaman di dalam  memahami masalah penyelesaian  sengketa pelaut yang bekerja pada  perusahaan angkutan laut nasional  dengan perusahaan angkutan laut  nasional. Sebab, masalah tersebut  telah membingungkan para pemilik  kapal dan mengkhawatirkan  kelangsungan investasi di bidang  angkutan laut.

Surat bernomor DPP-SRT-  IX/20/048 tertanggal 03 September  2020 perihal Penyelesaian  Sengketa Pelaut dengan  Perusahaan Angkutan Laut  Nasional tersebut menjelaskan  bahwa UU No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran (pasal 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141,142, 143, 144, 145 dan 146) dan aturan turunannya yang diterbitkan oleh Pemerintah/Kementerian Perhubungan adalah hukum yang  bersifat khusus (lex specialis) dan  menjadi satu-satunya aturan  perundang-undangan yang  mengatur secara detail dan jelas  tentang profesi pelaut.

Menurut surat tersebut, salah satu aturan tentang Pelaut adalah  Peraturan Pemerintah No.7 tahun 2000 tentang Kepelautan. PP tersebut menyebutkan bahwa  pelaut adalah setiap orang yang  mempunyai kualifikasi dan keahlian  atau keterampilan sebagai awak  kapal, maka pekerjaan pelaut adalah pekerjaan profesi.

Kemudian, penerbitan sertifikat  kompetensi, buku pelaut, pendidikan  dan pelatihan atas pelaut Indonesia yang bekerja pada perusahaan angkutan laut hingga adalah dibawah Kementerian Perhubungan c.q Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, bahkan seseorang dilarang bekerja diatas kapal tanpa sijil yang diterbitkan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kemenhub.

Menurut Indonesian National  Shipowners’ Association, saat ini  terjadi pemahaman yang tidak sejalan antara Kementerian Perhubungan c.q Direktorat Jenderal Perhubungan Laut  dengan Kementerian Ketenagakerjaan, khususnya terkait dengan penyelesaian sengketa antara pelaut dengan perusahaan angkutan laut nasional dan perlindungan  kesehatan dan kesejahteraan  pelaut.

”Jika terjadi perselisihan Pelaut Indonesia dengan Perusahan Angkutan Laut Nasional tentang hak dan kewajiban selama hubungan kerjanya, saat ini lebih sering diserahkan langsung kepada Mediator Hubungan  Industrial sehingga dinilai kurang  tepat,” tulis surat tersebut.

Sebab, jika merujuk kepada aturan yang berlaku, pelaut sebelum bekerja pada perusahaan angkutan laut nasional telah menandatangani Perjanjian Kerja Laut (PKL) yang memuat hak dan  kewajiban dari masing-masing  pihak. PKL tersebut juga wajib  disijil/ditandatangani oleh  Syahbandar dibawah Kementerian  Perhubungan.

”Dengan demikian, sudah  seharusnya penyelesaian sengketa antara pelaut Indonesia dengan perusahaan angkutan laut nasional tetap di bawah Kementerian Perhubungan sebagai institusi yang memahami perundang-undangan  terkait dengan angkutan laut dan kepelautan,” tulis surat yang ditandatangani Ketua Umum Indonesian National Shipowners’ Association Sugiman Layanto dan Sekretaris Umum Teddy Yusaldi.

Sedangkan terkait dengan  Perlindungan Kesehatan dan  Kesejahteraan Pelaut, Indonesian National Shipowners’ Association menjelaskan bahwa setiap pelaut yang bekerja di atas kapal wajib  diberikan perlindungan keselamatan  dan kesehatan kerja, dimana  perusahan pelayaran nasional  diwajibkan memenuhi dan taat  terhadap aturan internasional  melalui jaminan P & I (Protection  and Indemnity) yang mencakup  jaminan kesehatan pelaut dan juga  jaminan kecelakaan kerja dan  jaminan kematian sesuai dengan  Konvensi Internasional MLC  (Maritime Labour Convention) 2006  yang telah diratifikasi oleh  Pemerintah.

”Namun di sisi lain, terdapat UU No.  24 tahun 2011 tentang Badan  Penyelenggara Jaminan Sosial  (BPJS) yang memuat mengenai  jaminan hari tua dan jaminan  pensiun ketenagakerjaan,” tulis  surat yang juga ditembuskan  kepada Menteri Perhubungan  Republik Indonesia dan Menteri  Ketenagakerjaan Republik  Indonesia.

Sehubungan dengan hal itu, Indonesian National Shipowners’ Association meminta kepada  Menteri Kordinator bidang Maritim  dan Investasi c.q Deputi Bidang  Koordinasi Kedaulatan Maritim dan  Energi untuk memfasilitasi dan  mengkordinasikan upaya penyelesaian masalah hubungan industrial  antara pelaut dan perusahaan  angkutan laut nasional dengan  mempertimbangkan ketentuan lex specialis UU Pelayaran dan profesi pelaut dimana menurut Indonesian National Shipowners’ Association,  syahbandar adalah institusi  pertama yang seharusnya menjadi  tempat pengaduan jika terjadi masalah hubungan industrial antara pelaut dan perusahaan angkutan  laut nasional.

Kemenko juga diharapkan dapat  menjelaskan terkait dengan Perlindungan Kesehatan dan Kesejahteraan Pelaut bahwa pelaut adalah  profesi yang tunduk kepada ketentuan internasional dan aturan hukumnya di Indonesia yakni UU  No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran adalah lex specialis yang mana asas penafsiran hukum yang  menyatakan hukum yang bersifat  khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). (Aj/Red).

Penjelasan Kemenaker Soal  Perselisihan Pelaut

Jakarta--Kementerian Tenaga Kerja c.q Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan  Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja memberikan penjelasan terkait dengan  penyelesaian perselisihan pelaut yang bekerja pada perusahaan angkutan laut  nasional dengan perusahaan angkutan laut nasional.

Melalui surat bernomor 4/189/HI.04.01/IX/2020, tertanggal 18 September 2020, Kemenaker menjawab surat Indonesian National Shipowners' Association bernomor  DPP-SRT-VIII/20/046 tertanggal 14 Agustus 2020.

Dalam surat tersebut, Kemenaker menjelaskan bahwa Indonesian National  Shipowners' Association meminta agar penyelesaian perselisihan antara pelaut Indonesia dengan perusahaan transportasi laut dapat diselesaikan terlebih dahulu  melalui media Syahbandar sebelum diselesaikan oleh Mediator Hubungan Industrial pada Kementerian Ketenagakerjaan. Terhadap hal itu, Kemenaker menjelaskan:

Bahwa ketentuan ketenagakerjaan di bidang pelayaran dilaksanakan sesuai dengan  peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan sebagaimana diatur di dalam pasal 337 UU No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran.

Bahwa penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang timbul antara pelaut,  dengan pemilik atau operator kapal maupun antara pelaut dengan perusahaan agen  awak kapal, wajib diselesaikan secara musyawarah dan apabila penyelesaian  perselisihan sebagaimana dimaksud tidak tercapai kata sepakat, para pihak dapat  menyelesaikan melalui pengadilan hubungan industrial dengan berpedoman pada  Perjanjian Kerja Laut yang telah ditandatangani oleh para pihak dan dokumen  pendukung lainnya, hal tersebut sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 36 ayat (1) dan (2) Permenhub Nomor 84 Tahun 2013 tentang Perekrutan dan Penempatan  Awak kapal.

Sesuai ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang  Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, bahwa setiap perselisihan Hubungan  Industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat. Dalam hal perundingan bipartit gagal maka  perselisihan tersebut dicatatkan ke dinas atau institusi yang bertanggung jawab di  bidang ketenagakerjaan untuk dimediasi.

Sesuai dengan hal tersebut, Menurut Kementerian Ketenagakerjaan, maka mediasi  perselisihan Hubungan Industrial dapat dilaksanakan apabila perundingan bipartit tidak  menghasilkan kesepakatan. (Aj/Red)

  • By admin
  • 02 Oct 2020
  • 1772
  • INSA