• +62 21 351 4348
  • sekretariat@dppinsa.com

Penyelesaian Sengketa Pelaut dan Pelayaran Seharusnya di Syahbandar

Penyelesaian Sengketa Pelaut dan Pelayaran Seharusnya di Syahbandar

Jakarta-Indonesian National  Shipowners’ Association menyurati  Direktur Jenderal Pembinaan  Hubungan Industrial dan Jaminan  Sosial Tenaga Kerja (PHI-JSK)  Kementerian Ketenagakerjaan  Haiyani Rumondang terkait  dengan masalah perselisihan  pelaut dengan perusahaan  pelayaran nasional.

Surat dengan nomor DPP-SRT-  VIII/20/044 tertanggal 11 Agustus  2020 tersebut esensinya adalah  memohon kepada Kementerian  Ketenagakerjaan c.q Direktorat  Jenderal PHI-JSK untuk  menyelesaikan perselisihan pelaut  Indonesia yang berlayar di kapal  niaga nasional sesuai dengan  Perjanjian Kerja Laut (PKL) dan  aturan kepelautan yang bersifat lex  specialist.

Surat tersebut ditembuskan kepada  Menteri Perhubungan Republik  Indonesia Budi Karya Sumadi,  Menteri Ketenagakerjaan Republik  Indonesia Ida Fauziyah dan Direktur Jenderal Perhubungan Laut  Kementerian Perhubungan R. Agus H. Purnomo.

Surat yang ditandatangani Ketua  Umum Indonesian National  Shipowners’ Association Sugiman  Layanto dan Sekretaris Umum  Teddy Yusaldi menjelaskan masih  ada beberapa hal yang perlu  mendapat perhatian untuk dapat  diberikan solusinya yakni perihal  penyelesaian perselisihan antara  pelaut Indonesia dengan  perusahaan angkutan laut nasional  yang saat ini cenderung  diselesaikan langsung melalui  mediator Hubungan Industrial tanpa  melalui mediasi terlebih dahulu oleh  Syahbandar.

”Melalui Surat itu, kami mengajukan  permohonan agar perselisihan  Pelaut Indonesia dapat diselesaikan  terlebih dahulu melalui mediasi oleh  Syahbandar mengingat hal ini  merupakan wewenang dari  Syahbandar dan dibawah ranah  Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan,” tulis  surat tersebut.

Adapun dasar pertimbangannya adalah  sebagai berikut. Pertama, bahwa UU  No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran  (pasal 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145 dan 146) dan aturan turunannya yang diterbitkan oleh  Kementerian Perhubungan adalah  hukum yang bersifat khusus (lex  specialis) dimana saat ini masih  menjadi satu-satunya aturan  perundang-undangan yang mengatur  secara detail dan jelas tentang profesi  pelaut.

Kedua, berdasarkan Peraturan  Pemerintah No.7 tahun 2000 tentang  Kepelautan yang menyebutkan bahwa  pelaut adalah setiap orang yang  mempunyai kualifikasi dan keahlian  atau keterampilan sebagai awak kapal,  maka pekerjaan pelaut adalah  pekerjaan profesi.

Ketiga, penerbitan sertifikat kompetensi,  buku pelaut, pendidikan dan pelatihan  atas pelaut Indonesia yang bekerja pada perusahaan angkutan laut  hingga adalah di bawah Kementerian  Perhubungan c.q Direktorat  Jenderal Perhubungan Laut, bahkan  seseorang dilarang bekerja di atas  kapal tanpa sijil yang diterbitkan Direktorat Jenderal Perhubungan  Laut, Kemenhub.

Ketua bidang SDM dan Pelaut Sigit Triwaskito mengatakan saat ini  telah terjadi pemahaman yang tidak  sejalan antara Kementerian  Ketenagakerjaan dengan  Kementerian Perhubungan c.q  Direktorat Jenderal Perhubungan  Laut khususnya terkait dengan  penyelesaikan sengketa antara  pelaut dengan perusahaan angkutan laut nasional dan perlindungan kesehatan dan kesejahteraan pelaut sehingga membingungkan para pemilik kapal dan dikhawatirkan akan menghambat  investasi angkutan laut.

Terkait dengan penyelesaian  sengketa jika terjadi perselisihan  Pelaut Indonesia dengan Perusahan  Angkutan Laut Nasional tentang hak  dan kewajiban selama hubungan  kerjanya, saat ini lebih sering  diserahkan langsung kepada  Mediator Hubungan Industrial  sehingga kurang tepat. Sebab, jika  merujuk aturan yang berlaku, pelaut  sebelum bekerja pada perusahaan  angkutan laut nasional telah  menandatangani Perjanjian Kerja  Laut (PKL) yang memuat hak dan  kewajiban dari masing-masing pihak  dan wajib disijil/ditandatangani oleh  Syahbandar dibawah Kementerian  Perhubungan sehingga dengan  demikian, sudah seharusnya  penyelesaian sengketa antara  pelaut Indonesia dengan  perusahaan angkutan laut nasional  tetap di bawah Kementerian  Perhubungan sebagai institusi yang  memahami perundang-undangan  terkait dengan angkutan laut dan  kepelautan. 

Adapun terkait dengan Perlindungan Kesehatan dan Kesejahteraan  Pelaut, setiap pelaut yang bekerja di  atas kapal wajib diberikan  perlindungan keselamatan dan  kesehatan kerja, dimana perusahan  pelayaran nasional diwajibkan  memenuhi dan taat terhadap aturan  internasional melalui jaminan P & I  (Protection and Indemnity) yang  mencakup jaminan kesehatan pelaut  dan juga jaminan kecelakaan kerja  dan jaminan kematian sesuai  dengan Konvensi Internasional MLC  (Maritime Labour Convention) 2006  yang telah diratifikasi oleh  Pemerintah.

Di sisi lain, terdapat UU No. 24  tahun 2011 tentang Badan  Penyelenggara Jaminan Sosial  (BPJS) yang memuat mengenai  jaminan hari tua dan jaminan  pensiun ketenagakerjaan. Mengingat  pelaut adalah profesi yang tunduk kepada ketentuan internasional dan aturan hukumnya di Indonesia yakni  UU No.17 tahun 2008 tentang  pelayaran adalah lex specialis yang mana asas penafsiran hukum yang  menyatakan bahwa hukum yang  bersifat khusus (lex specialis)  mengesampingkan hukum yang  bersifat umum (lex generalis)  termasuk UU BPJS itu. (Red/Aj)

  • By admin
  • 04 Sep 2020
  • 2671
  • INSA