Penyelesaian Sengketa Pelaut dan Pelayaran Seharusnya di Syahbandar
Penyelesaian Sengketa Pelaut dan Pelayaran Seharusnya di Syahbandar
Jakarta-Indonesian National Shipowners’ Association menyurati Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI-JSK) Kementerian Ketenagakerjaan Haiyani Rumondang terkait dengan masalah perselisihan pelaut dengan perusahaan pelayaran nasional.
Surat dengan nomor DPP-SRT- VIII/20/044 tertanggal 11 Agustus 2020 tersebut esensinya adalah memohon kepada Kementerian Ketenagakerjaan c.q Direktorat Jenderal PHI-JSK untuk menyelesaikan perselisihan pelaut Indonesia yang berlayar di kapal niaga nasional sesuai dengan Perjanjian Kerja Laut (PKL) dan aturan kepelautan yang bersifat lex specialist.
Surat tersebut ditembuskan kepada Menteri Perhubungan Republik Indonesia Budi Karya Sumadi, Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Ida Fauziyah dan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan R. Agus H. Purnomo.
Surat yang ditandatangani Ketua Umum Indonesian National Shipowners’ Association Sugiman Layanto dan Sekretaris Umum Teddy Yusaldi menjelaskan masih ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian untuk dapat diberikan solusinya yakni perihal penyelesaian perselisihan antara pelaut Indonesia dengan perusahaan angkutan laut nasional yang saat ini cenderung diselesaikan langsung melalui mediator Hubungan Industrial tanpa melalui mediasi terlebih dahulu oleh Syahbandar.
”Melalui Surat itu, kami mengajukan permohonan agar perselisihan Pelaut Indonesia dapat diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi oleh Syahbandar mengingat hal ini merupakan wewenang dari Syahbandar dan dibawah ranah Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan,” tulis surat tersebut.
Adapun dasar pertimbangannya adalah sebagai berikut. Pertama, bahwa UU No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran (pasal 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145 dan 146) dan aturan turunannya yang diterbitkan oleh Kementerian Perhubungan adalah hukum yang bersifat khusus (lex specialis) dimana saat ini masih menjadi satu-satunya aturan perundang-undangan yang mengatur secara detail dan jelas tentang profesi pelaut.
Kedua, berdasarkan Peraturan Pemerintah No.7 tahun 2000 tentang Kepelautan yang menyebutkan bahwa pelaut adalah setiap orang yang mempunyai kualifikasi dan keahlian atau keterampilan sebagai awak kapal, maka pekerjaan pelaut adalah pekerjaan profesi.
Ketiga, penerbitan sertifikat kompetensi, buku pelaut, pendidikan dan pelatihan atas pelaut Indonesia yang bekerja pada perusahaan angkutan laut hingga adalah di bawah Kementerian Perhubungan c.q Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, bahkan seseorang dilarang bekerja di atas kapal tanpa sijil yang diterbitkan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kemenhub.
Ketua bidang SDM dan Pelaut Sigit Triwaskito mengatakan saat ini telah terjadi pemahaman yang tidak sejalan antara Kementerian Ketenagakerjaan dengan Kementerian Perhubungan c.q Direktorat Jenderal Perhubungan Laut khususnya terkait dengan penyelesaikan sengketa antara pelaut dengan perusahaan angkutan laut nasional dan perlindungan kesehatan dan kesejahteraan pelaut sehingga membingungkan para pemilik kapal dan dikhawatirkan akan menghambat investasi angkutan laut.
Terkait dengan penyelesaian sengketa jika terjadi perselisihan Pelaut Indonesia dengan Perusahan Angkutan Laut Nasional tentang hak dan kewajiban selama hubungan kerjanya, saat ini lebih sering diserahkan langsung kepada Mediator Hubungan Industrial sehingga kurang tepat. Sebab, jika merujuk aturan yang berlaku, pelaut sebelum bekerja pada perusahaan angkutan laut nasional telah menandatangani Perjanjian Kerja Laut (PKL) yang memuat hak dan kewajiban dari masing-masing pihak dan wajib disijil/ditandatangani oleh Syahbandar dibawah Kementerian Perhubungan sehingga dengan demikian, sudah seharusnya penyelesaian sengketa antara pelaut Indonesia dengan perusahaan angkutan laut nasional tetap di bawah Kementerian Perhubungan sebagai institusi yang memahami perundang-undangan terkait dengan angkutan laut dan kepelautan.
Adapun terkait dengan Perlindungan Kesehatan dan Kesejahteraan Pelaut, setiap pelaut yang bekerja di atas kapal wajib diberikan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, dimana perusahan pelayaran nasional diwajibkan memenuhi dan taat terhadap aturan internasional melalui jaminan P & I (Protection and Indemnity) yang mencakup jaminan kesehatan pelaut dan juga jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian sesuai dengan Konvensi Internasional MLC (Maritime Labour Convention) 2006 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah.
Di sisi lain, terdapat UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang memuat mengenai jaminan hari tua dan jaminan pensiun ketenagakerjaan. Mengingat pelaut adalah profesi yang tunduk kepada ketentuan internasional dan aturan hukumnya di Indonesia yakni UU No.17 tahun 2008 tentang pelayaran adalah lex specialis yang mana asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis) termasuk UU BPJS itu. (Red/Aj)
- By admin
- 04 Sep 2020
- 2671
- INSA