Sidang Pekerja Migran di Mahkamah Konstitusi: Ahli Sebut Pelaut Bukan Pekerja Migran
Sidang Pekerja Migran di Mahkamah Konstitusi: Ahli Sebut Pelaut Bukan Pekerja Migran
International Labour Organization (ILO) telah membentuk rezim hukum tersendiri bagi pekerja migran di daratan yang mengeluarkan pelaut dari daftar pekerja migran. Bagi pelaut, ILO telah membuat “Bill of Rights” khusus melalui Maritime Labour Convention 2006 (MLC 2006) yang secara komprehensif memberikan perlindungan bagi pelaut, mengatur pebisnis di sektor ini dan tanggung jawab negara-negara peserta konvensi.
Hal tersebut disampaikan oleh Saru Arifin, dosen Fakultas Hukum UNNES Semarang, Jawa Tengah, yang dihadirkan oleh Pemohon dalam sidang keempat perkara Nomor 127/PUU-XXI/2023 pada Senin (22/1/2024). Sidang permohonan yang diajukan Imam Syafi’i (Ketua Umum Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I) dan Ahmad Daryoko (Direktur PT Mirana Nusantara Indonesia) dilaksanakan di Ruang Sidang Pleno MK dengan dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dan Wakil Ketua MK Saldi Isra bersama dengan enam hakim konstitusi lainnya. Lebih lanjut dalam keterangannya Saru menjelaskan secara normatif dan teori, pelaut bukan termasuk pekerja migran yang secara konsisten ditegaskan dalam tiga Konvensi ILO, yakni Konvensi Nomor C-097 Tahun 1949, Konvensi Nomor C-143 Tahun 1975 dan Konvensi ILO tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Keluarganya 1990. Oleh sebab itu, Pasal 4 UU PPMI dan kebijakan teknis tata kelola migrasi ketenagakerjaan yang ada saat ini melalui PP Nomor 22 Tahun 2022 yang memasukkan pelaut sebagai bagian dari kelompok pekerja migran, tidak sejalan dengan ketentuan ketiga konvensi di atas sebagai induk regulasi internasional dalam tata kelola migrasi ketenagakerjaan untuk pekerja migran di darat.
Menurutnya, sebagai negara peserta kedua konvensi tersebut, seharusnya Indonesia konsisten dalam melaksanakannya dalam legislasi nasional. Implikasi teknis dari perubahan status pelaut menjadi pekerja migran dalam UU PPMI 2017 adalah terjadinya disharmoni aturan pada level peraturan pelaksananya, yakni PP Nomor 22 Tahun 2022 yang beberapa pasal di dalamnya disharmoni dengan PP Nomor 31 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan di Bidang Pelayaran. Sebagai konsekuensinya, pelaut menanggung beban tambahan kewajiban administrasi perizinan dan tentunya juga waktu dan biaya. Hal ini dapat berpotensi pada kemungkinan 'disisihkannya' pelaut-pelaut Indonesia dalam pengisian posisi pekerjaan di kapal asing, karena pemilik kapal akan merekrut pelaut dari negara lain yang lebih cepat merespons. Selain itu, perusahaan agensi perekrutan dan penempatan awak kapal harus menambah izin usahanya yang harus menyesuaikan dengan pola perizinan perusahaan agensi PMI yang berbasis daratan.
Oleh sebab itu, sambungnya, agar harmoni kelembagaan dalam tata kelola migrasi ketenagakerjaan di Indonesia, baik yang berbasis darat maupun berbasis laut dapat terjaga, maka Pasal 4 UU PPMI perlu dilakukan review (judicial review atau political review) dengan mengeluarkan pelaut dari kelompok pekerja migran dan ditegaskan dalam Pasal 4 ayat 2 UU PPMI 2017, bersama sejumlah pekerja lainnya yang dieksklusi dari daftar kelompok pekerja migran. Hal ini juga dimaksudkan untuk menjaga konsistensi legislasi antara UU PPMI 2017 dengan tiga konvensi ILO sebagai induk legislasi dan tata kelola migrasi ketenagakerjaan internasional.
Persidangan kali ini juga mendengar keterangan Matthew Michele Lenggu selaku kuasa hukum Pihak Terkait Tim Advokasi Pelaut Migran Indonesia. Matthew mengatakan bahwa awak kapal niaga dan perikanan migran baru dapat dikecualikan sebagai pekerja migran apabila awak kapal tersebut tidak memenuhi unsur bekerja di luar wilayah Republik Indonesia (vide Pasal 1 angka 2 UU PPMI) dan awak kapal tersebut belum memperoleh izin tinggal dan belum melakukan aktivitas yang dibayar di negara tujuan kerja sebagaimana yang diatur pada Pasal 3 huruf f Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pengesahan International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers And Members of Their Families (Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya).
Matthew mengatakan, kedua syarat sebagaimana yang diatur pada Pasal 3 huruf f UU No. 6/2012, sudah terpenuhi bagi awak kapal yang bekerja di kapal berbendera asing, yakni dengan adanya kewajiban untuk memperoleh Elektronik Pekerja Migran Indonesia (E-PMI) yang merupakan identitas resmi dari pekerja migran, sebagaimana yang diatur pada Pasal 33 Peraturan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia No. 7 Tahun 2022 tentang Proses Sebelum Bekerja bagi Calon Pekerja Migran Indonesia (Peraturan BP2MI No. 7/2022), serta adanya upah yang telah disepakati oleh awak kapal migran dengan pemberi kerja berdasarkan perjanjian kerja laut atau perjanjian kerja Bersama.
Lebih lanjut, keharusan adanya kualifikasi profesional bagi pelaut, in casu awak kapal migran, tidak dapat dijadikan alasan bagi awak kapal untuk dikecualikan dari kedudukannya sebagai pekerja migran, karena seluruh calon pekerja migran, apa pun jenis pekerjaannya, wajib untuk memperoleh pelatihan kerja (vide Pasal 34 huruf a, b, c, dan d UU PPMI), yang dibuktikan dengan sertifikat kompetensi agar calon pekerja migran yang bersangkutan memiliki kualifikasi profesional dalam menjalankan pekerjaannya di negara tujuan.
Sehingga menurut Pihak Terkait, dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa pelaut memiliki fitur yang berbeda sehingga dikecualikan dari pekerja migran adalah dalil yang tidak berdasar sama sekali. Oleh karena itu, Pihak Terkait mohon kepada MK untuk menolak permohonan uji materi Para Pemohon tersebut untuk seluruhnya.
Menurut Pihak Terkait, masalah dualisme perizinan yang didalilkan oleh Para Pemohon, tidak ada hubungannya dengan status atau kedudukan pelaut sebagai pekerja migran. Ketiadaan perizinan atau dualisme perizinan tersebut tidak seharusnya mengakibatkan status pelaut sebagai pekerja migran menjadi hilang sama sekali. Jika status awak kapal niaga dan perikanan migran tidak lagi dianggap sebagai pekerja migran, maka akan terjadi kekosongan hukum bagi awak kapal migran dalam menuntut hak-haknya.
Sementara itu Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (UU Pelayaran) tidak mengatur tentang hak-hak awak kapal migran sebagai pekerja migran Indonesia. Atas dasar tersebut, menurut Pihak Terkait, norma Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPMI tidak bertentangan dengan prinsip kepastian hukum dan Pihak Terkait memohon kepada MK untuk menolak permohonan Para Pemohon.
Sebagai tambahan informasi, MK pada Rabu (11/10/2023) menggelar sidang pendahuluan pengujian materiil Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja). Permohonan Nomor 127/PUU-XXI/2023 ini diajukan Imam Syafi’i selaku Ketua Umum Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I), Untung Dihako (Pemohon II), dan Ahmad Daryoko selaku Direktur PT Mirana Nusantara Indonesia (Pemohon III).
Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPMI menyatakan, “Pekerja migran Indonesia meliputi: … c. Pelaut awak kapal dan pelaut perikanan.” Menurut para Pemohon, pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Imam Syafi’i (Pemohon I) menilai akibat keberlakuan norma tersebut berdampak pada tumpang tindih regulasi dari beberapa tingkatan undang-undang, di antaranya UU 17/2008 tentang Pelayaran, PP 31/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pelayaran, dan PP 22/2022 tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran. Dengan beralihnya kewenangan kementerian yang menyelenggarakan urusan pelayaran dari Kementerian Perhubungan ke Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), sehingga jaminan perlindungan serta hak bagi pelaut awak kapal dan pelaut perikanan yang telah diformulasikan pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelayaran tidak dapat diaplikasikan.
Sementara bagi Ahmad Daryoko (Pemohon III) yang merupakan perusahaan yang bergerak dalam aktivitas keagenan awak kapal, dirugikan pula atas ketentuan norma tersebut. Pemohon II wajib memiliki surat izin perekrutan pekerja migran Indonesia yang diterbitkan oleh Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran sebagaimana ditentukan Pasal 72 huruf c UU PPMI. Akibat ketentuan ini, Pemohon II dikriminalisasi dengan telah ditetapkannya sebagai tersangka dan saat ini dalam proses penahanan pada rumah tahanan negara oleh Penyidik Ditreskrimum Kepolisian Daerah Jawa Tengah dalam kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang.
Selain itu, norma tersebut juga berpotensi merugikan Pemohon III dalam menjalankan usaha keagenan awak kapal. Sebelumnya Pemohon III bekerja sama dengan agen awak kapal asing, baik dengan negara yang memiliki hubungan diplomatik atau pun tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia. Oleh karena itu, dalam petitum para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPMI sebagaimana telah diubah dengan UU Cipta Kerja bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28| ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Humas MK
- By admin
- 31 Mar 2024
- 792
- INSA