• +62 21 351 4348
  • sekretariat@dppinsa.com

Tak Ada Pelayanan, Tapi Harus Bayar

Tak Ada Pelayanan, Tapi Harus Bayar

ILUSTRASI: Aktifitas bongkar muat ekspor impor di Terminal Peti kemas. (ANTARA/Adwit B Pramono)

ILUSTRASI: Aktifitas bongkar muat ekspor impor di Terminal Peti kemas. (ANTARA/Adwit B Pramono)

Metrotvnews.com, Samarinda: Bagaimana mau punya daya saing kalau biaya logistiknya tinggi. Keluhan ini kerap muncul dari mulut pengusaha, tatkala Presiden Joko Widodo menekankan agar produk Indonesia mesti mampu bersaing.
 
Faktanya, biaya transportasi bahan produksi dan pengiriman barang memang menjadi beban bagi daya saing komoditas dan perdagangan nasional. Paling tidak, dari total biaya produksi,  22 sampai 24 persennya adalah biaya logistik.
 
Salah satu faktor yang membuat bengkaknya biaya logistik adalah tingginya ongkos di pelabuhan. Dan yang kerap menjadi momok adalah biaya tenaga kerja bongkar muat (TKBM). Padahal, belum tentu ada layanan di situ. No service but pay.
 
Bayangkan, meski teknologi mesin sudah mendukung pelabuhan-pelabuhan peti kemas di Indonesia, tetap saja biaya bongkar muat tenaga orangnya harus dibayar. Biayanya pun cenderung monopolistik. Sang pemasok buruh yang menentukan, yakni koperasi TKBM.
 
Kalau pengusaha tidak mau membayarnya, jangan harap barang mereka bisa turun ke darat. Lagipula tidak ada pilihan pemasok buruh lain di luar koperasi TKBM.
 
Tampaknya wajar bila pemerintah mencap kegiatan semacam itu adalah pungutan liar alias pungli. Alhasil, aksi-aksi TKBM "tanpa kerja" itu disikat oleh Saber Pungli bentukan Kementerian Politik Hukum dan Keamanan.
 
Pada November 2016 lalu, tim gabungan yang juga melibatkan Polri itu beres mengobrak-abrik Koperasi TKBM Upaya Karya di Pelabuhan Belawan, Sumatera Utara. Sejumlah orang yang terlibat ditahan. Dan belum lama, 17 Maret 2017 lalu, giliran Terminal Peti Kemas (TPK) Palaran, Samarinda, Kalimantan Timur yang digempur.
 
Pagi itu, Erwin, salah seorang pengurus Koperasi TKBM Samudera Sejahtera (Komura), tertangkap tangan sedang menerima pungli sebesar Rp5 juta. Tapi bagi Erwin, uang itu adalah uang muka alias panjar pekerjaan bongkar muat, yang memang pekerjaannya belom dilakoni.
 
Operasi Tangkap Tangan (OTT) inilah yang membawa tim gabungan menggeledah kantor Komura. Berbagai berkas disita untuk diperiksa, termasuk uang tunai Rp 6,1 miliar yang menumpuk di brankas kantor pengelola buruh bongkar muat di Pelabuhan Samarinda itu.
 
Selain itu, Bareskrim Polri juga memblokir rekening bank milik Komura dan menyita deposito Koperasi sebesar Rp 326 miliar. Hingga akhirnya dua pucuk pimpinan Komura, yakni sang Ketua, Jafar Abdul Gaffar, yang juga anggota DPRD Samarinda, dan Sekretaris Komura, Dwi Hari Winarno, dijadikan tersangka.
 
Bukan sekadar pungli, keduanya juga disangkakan pada tindak pidana pencucian uang (TPPU). Perkaranya, hasil pungli itu disamarkan menjadi aset koperasi.
 
"Ya, TPPU. Kegiatan itu sudah dimulai sejak 2010. Total yang kami sita Rp 2,4 triliun. Kemungkinan besar masih bisa bertambah. Di antaranya dialirkan ke deposito," ucap Kepala Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Tipideksus) Brigjen Polisi Agung Setya saat ditemui Tim Telusur Metrotvnews.com di Jakarta, Senin, 17 April 2017.
 
Langgeng
 
Berdasarkan klaim sang pimpinan, Jafar, yang juga merupakan anggota DPRD Samarinda, kegiatan yang dilakukan Komura itu bukan pungli. Semua sudah berdasarkan regulasi pemerintah. Pengguna jasa memang harus membayar biaya bongkar-muat kepada mereka.
 
Salah satunya termaktub dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Dirjen, antara Dirjen Perhubungan Laut, Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, serta Deputi Bidang Kelembagaan Koperasi dan UKM. Ditegaskan, Koperasi TKBM harus dibentuk di setiap pelabuhan, dan wajib mendapatkan rekomendasi dari penyelenggara pelabuhan.
 
Perusahaan bongkar-muat (PBM) swasta memang ada, tapi pemasok buruhnya hanya boleh dari Koperasi TKBM. Dengan begitu, jadilah Komura sebagai satu-satunya jasa pemasok buruh bongkar-muat di pelabuhan.
 
Meski TPK Palaran sudah dilengkapi teknologi mesin untuk bongkar-muat peti kemas, jasa manual TKBM tetap harus dibayarkan. Soal tarif, dirumuskan oleh Komura. Tentu atas sepengetahuan Dinas Tenaga Kerja, juga Dinas Koperasi dan UKM Kota Samarinda.
 
Namun, sejak 2010, tarif yang dikenakan Komura untuk kegiatan bongkar-muat di Pelabuhan Samarinda mulai dianggap tidak wajar. Kenaikan terparah pada 2012. Dan terakhir, kenaikan kembali dilakukan pada 2014.
 
Tidak ada yang bisa menentangnya. Pengguna jasa harus sepakat, karena tidak ada pilihan lain. Bila tidak mau membayar, jangan harap barang-barangnya bisa turun ke pelabuhan.
 

 
Kesyahbandaran pun tidak bisa berbuat apa-apa. Alasannya tarif sudah disepakati oleh masing-masing asosiasi pengusaha pengguna jasa. Sudah sesuai prosedur yang termaktub dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 152 tahun 2016.
 
Mereka hanya bisa menetapkan rumusan tarif itu ke dalam surat keputusan syahbandar. Memang betul, dalam Surat Keputusan bernomor AT.501/1/2/KSOP.SMD.2014, tercatat, tarif itu telah disepakati dan ditandatangani oleh Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI), Asosiasi Perusahaan Batubara Indonesia (APBI) dan Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI).
 
Hanya satu ruang tandatangan yang kosong, yakni Masyarakat Perkayuan Indonesia (MPI). Namun, tanpa MPI, kesepakatan itu dirasa cukup untuk ditetapkan.
 

 
Tim Telusur Metrotvnews.com pun menemui beberapa pengusaha pengguna jasa yang tergabung dalam asosiasi yang bersepakat di Samarinda, Rabu, 19 April 2017. Mereka bersedia berkomentar, tapi tidak mau disebutkan namanya. Alasannya, bisa membahayakan keselamatan diri dan keluarganya.
 
"Mau tidak mau sepakat, daripada tidak bisa bongkar muat. Padahal tanpa mereka kita bisa. Alatnya kan ada. Kalaupun diperlukan tenaga manual, itu tidak banyak. Paling empat-lima orang. Malah terkadang orang kita sendiri, bukan TKBM," ucap salah satu di antaranya.
 
Berbenah regulasi
 
Bila faktanya TKBM membuat bengkak biaya pelabuhan, apakah dengan OTT lantas ongkos transportasi bahan produksi dan pengiriman barang bisa turun?
 
Menurut Ketua Dewan Pakar Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Danang Parikesit mengungkapkan, bisa saja.  Asalkan ada tindak lanjut berupa kebijakan kemaritiman, khususnya terkait pelabuhan. "Ini kan terjadi karena tata kelola dalam penyelenggaraan TKBM tidak didesain untuk kompetitif," katanya kepada Metrotvnews.com, Senin 17 April 2017.
 
Bagi Danang, kalau ingin tetap mempertahankan badan tunggal Koperasi TKBM, itu artinya pemerintah harus memantau secara ketat, terutama indikator kinerja betul-betul harus dimonitor. Tidak boleh lagi ada pembayaran tanpa layanan.
 

 
Pilihan lain tindak lanjut pemerintah adalah membuka kesempatan kepada operator pemasok TKBM lain. Tujuannya, agar terjadi kompetisi di antara mereka. Pengusaha menjadi punya pilihan dalam menentukan jasa siapa yang mau dipakai.
 
Dengan kata lain, Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Dirjen Perhubungan Laut, Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, serta Deputi Bidang Kelembagaan Koperasi dan UKM, mesti dicabut.
 
Perkaranya, SKB yang diterbitkan pada 2011 tersebut menegaskan, Koperasi TKBM harus dibentuk di setiap pelabuhan, dan wajib mendapatkan rekomendasi dari penyelenggara pelabuhan. Artinya, tidak ada pilihan lain bagi pengusaha selain meneken tarif yang sudah mereka rumuskan.
 
"Kontrol penentuan tarif, atau sudahi monopoli. Dua hal itu yang saya kira fundamental untuk kegiatan TKBM," ucap Danang.
 
Namun, apapun instrumen yang akan digunakan, bagi Danang, yang terpenting adalah pemahaman tentang No Service No Pay. Tidak ada uang yang diberikan secara cuma-cuma tanpa layanan. Jadi, kalau ternyata harga yang dibayarkan tidak sesuai dengan jasa yang disediakan, pasti ada indikasi moral hazard.
 
“Tarif itu kemudian direkayasa, kemudian diberikan ke pihak-pihak yang tidak berhak. Ini yang harus jadi objek investigasi dari kepolisian,” ujarnya.
 
Kini, pasca-OTT, kegiatan bongkar-muat di TPK Palaran kembali berjalan seperti sediakala. Bedanya, pengkondisian TKBM diambil alih oleh Kesyahbandaran Samarinda. Biayanya pun telah disamakan dengan pelabuhan lain, Rp10.000 per peti kemas, lebih murah sebelas kali lipat dari sebelum OTT. Tanpa paksaan, nilai ini pun telah disetujui oleh asosiasi-asosiasi perusahaan pengguna jasa.
 
“Tenaganya yang dipakai menggunakan buruh Komura, sampai clear kasusnya,”  ucap Pelaksana Harian Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Samarinda, Ridha Rengreng saat kami temui di lokasi. “Ini sementara, untuk menunggu tarif baru yang ditetapkan.”

  • By admin
  • 24 Apr 2017
  • 3233
  • INSA